HIDUP ITU MEMILIH
HIDUP ITU MEMILIH
Hidup di dunia ini dengan berbagai aspeknya selalu menghadirkan
pilihan-pilhan. Dan semua kita yang masih hidup harus dan pasti memilih
diantara pilihan-pilihan yang tersedia. Tidak mungkin tidak.
Perbedaannya mungkin hanya apakah sebuah pilihan diambil dengan penuh
kesadaran, kesengajaan, pemahaman, pertimbangan, perhitungan, dan
pertanggungan jawab, ataukah tidak. Bahkan termasuk sikap tidak memilih
itu sendiri sebenarnya juga sebuah pilihan.
Dan kualitas diri
seseorang itu ditentukan antara lain oleh sikap dan caranya dalam
menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya, serta kemampuannya dalam
mempertanggung jawabkan setiap pilihan yang diambilnya.
Karena
setiap pilihan dalam hidup pasti ada konsekuensi dan resikonya, maka
biasakanlah diri agar selalu memilih secara sadar, sengaja dan
bertanggung jawab. Lebih-lebih lagi karena setiap pilihan juga pasti
akan ditanya tentangnya dan diminta pertanggungan jawabnya. Maka
janganlah pernah sekali-kali tidak peduli dalam memilih apa saja dan
siapa saja.
Oleh karena itu, kesiapan yang baik dalam memenuhi
konskuensi setiap pilihan, dan kekuatan yang memadai dalam
mengantisipasi resiko-resikonya , tak jarang justru jauh lebih penting
daripada bentuk dan jenis pilihannya itu sendiri. Maka orang lemah
adalah orang yang memilih dengan tanpa mengantisipasi konsekuensi dan
resiko pilihannya. Dan lebih lemah lagi, adalah yang bahkan tidak
memikirkan dan memperhitungkannya sama sekali.
Lalu, disamping
pertimbangan akan resiko dan konskuensi, nilai sebuah pilihan utamanya
juga sangat ditentukan oleh dasar dan standar yang dipakai oleh setiap
pemilih dalam menentukan pilihan. Sehingga kontras dan ekstremnya
perbedaan pilihan atau penilaian terhadapnya antar berbagai pihak,
seringkali karena perbedaan dasar dan standar yang dipakai oleh
masing-masing. Maka agar adil dan tidak salah, sebelum menilai pilihan
seseorang atau suatu kelompok dalam hal-hal opsional tertentu, sangatlah
penting sekali bila kita terlebih dulu mengetahui dan memahami dasar
serta standar yang dipakainya secara baik dan proporsional.
Dan
bila dilihat dari sifat, dasar dan standar yang dipakai, maka akan
didapati bahwa, ada dua jenis atau kategori pilihan. Yaitu jenis dan
kategiri pilihan dengan dasar dan standar idealistis, serta jenis dan
kategiri pilihan dengan dasar pertimbangan realistis. Dan sikap terbaik
dan terideal adalah yang selalu berupaya menentukan pilihan dengan cara
memadukan antar keduanya. Namun masalahnya, akan selalu ada saja
sikap-sikap ekstrem dan kontradiktif. Dimana ada yang terlalu idealistis
sampai tidak mau mengakui adanya pilihan dengan dasar pertimbangan
realstis. Sementara yang lain realistis secara berlebihan, sehingga
tampak atau minimal terkesan abai terhadap kaedah-kaedah dasar dan
prinsip-prinsip standar idealstis. Maka akan sangat kontras sekali
hasilnya, kala pilihan dengan dasar pertimbangan realistis misalnya,
dinilai dengan standar dan parameter idealistis murni. Sebagaimana
begitu pula sebaliknya, pilihan-pilihan dengan standar dan parameter
idealistis, tidak akan bisa dan mampu dipahami dengan baik dan benar
serta proporsional oleh yang hanya berorientasi dan berpola pikir
realistis semata.
Selanjutnya, merupakan salah satu realita dan
fakta yang tak terpungkiri bahwa, mayoritas pilihan dalam berbagai
aspek dan masalah kehidupan saat ini adalah merupakan pilihan-pilihan
realistis. Karena memang hampir-hampir tidak ada pilihan di bidang
apapun yang dasar dan landasannya idealistis murni. Maka umumnya sangat
dilematis sekaligus controversial sekali.
Memang kaidah
normatif yang mengikat setiap muslim dan muslimah dalam hidup ini bahwa,
dalam menentukan atau menilai setiap pilihan apapun, semestinya ia
selalu mengacu pada standar dan parameter idealistis, untuk memperoleh
pilihan yang ideal pula. Namun betapa sulitnya mendapatkan pilihan ideal
itu di dalam realita kehidupan seperti sekarang ini, dimana mayoritas
aspeknya telah demikian jauh atau terjauhkan dari standar komitmen,
kontrol dan arahan syar’i.
Sehingga hampir-hampir saja kita selalu
dihadapkan pada pilihan-pilihan yang tidak ada satupun diantaranya yang
ideal. Sementara itu kita tidak bisa atau tidak mungkin atau tidak
dibenarkan untuk tidak memilih! Dan itu dalam hampir semua aspek
kehidupan; dalam aspek sosial, pendidikan, seni budaya, ekonomi,
pekerjaan, media, berbagai sarana, hukum, politik, dan lain-lain.
Nah dalam realita dan kondisi seperti itu, standar dan parameter yang
harus dipakai dan diterapkan dalam menentukan suatu pilihan tertentu
atau dalam menilainya haruslah standar realistis, dan bukan standar
idealistis. Karena memang pilihan manapun yang diambil oleh siapapun
tentulah merupakan pilihan realistis pula, dan tidak mungkin ada pilihan
yang idealistis.
Sebagai contoh misalnya dalam bidang dakwah
Islam. Jika penerapan prinsip tadarruj (pentahapan) dalam perjuangan
dakwah Islam diibaratkan naik tangga, dan puncak idealita islami murni
itu ada di tangga 10 misalnya, sementara marhalah (tahapan) dakwah saat
ini baru sampai tangga 3 misalnya, maka pilihan-pilihan dakwah di
marhalah ini haruslah ditentukan dan dinilai berdasarkan standar dan
parameter tangga 3 dan bukan tangga 5 atau tangga 7 atau apalagi tangga
10!
Dan kaidah penting dalam melakukan muwazanat (perbandingan dan
pertimbangan) diantara pilihan-pilihan realistis adalah sebagai berikut:
Selama diantara pilihan-pilihan realistis itu masih bisa dibedakan,
maka secara syar’i seorang muslim atau muslimah tetap wajib memilih
diantara pilihan-pilihan yang ada itu, dan tidak dibenarkan bersikap
netral atau abstain dengan tidak menentukan pilihan tertentu di antara
pilihan-pilihan yang tersedia. Dan yang dimaksud dengan “masih bisa
dibedakan” itu yakni selama masih bisa dibedakan dalam hal baik-buruknya
dan maslahat-madharatnya, atau masih bisa dibedakan dalam hal tingkat
kebaikan dan kemaslahatannya ataupun tingkat keburukan dan
kemadharatannya!
Saat kita dihadapkan pada pilihan-pilihan yang
semuanya buruk dan madharat, seperti kebanyakan pilihan yang ada di
hadapan kita selama ini, maka secara syar’I kita wajib memilih yang
tingkat keburukan dan kemadharatannya lebih atau paling ringan dan
paling rendah. Karena hanya dengan cara itulah kita bisa mencegah
pilihan yang lebih atau paling buruk dan paling madharat. Jadi babnya
disini adalah demi melakukan kewajiban inkarul munkaril akbar
(pengingkaran atau pencegahan terhadap kemungkaran yang lebih atau
paling besar), yang hanya mungkin dilakuakan dengan terpaksa memilih,
berpihak dan mendukung al-munkar al-ashghar (kemungkaran yang lebih atau
paling kecil), sesuai kaidah ikhtiyar ahwanisy-syarrain atau
akhaffidh-dhararain (memilih atau menolerir keburukan/kemadharatan yang
lebih ringan dan lebih kecil diantara dua pilihan buruk/madharatyang
ada) di dalam ushul fiqih.
Dan terakhir, yang juga sangat
penting disadari dan diingat bahwa, sikap netral atau abstain, yang
biasa diistilahkan golput (golongan putih?) dalam menghadapi
pilihan-pilihan realistis yang kesemuanya buruk dan madharat, namun
masih bisa dibedakan tingkat keburukan dan kemadharatannya, pada
hakekatnya merupakan sikap “memihak” dan “memenangkan” pilihan yang
lebih atau paling buruk. Namun hal itu sering tidak disadari oleh
pihak-pihak yang bersangkutan.
Wallahu a’lam, wa Huwal Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal Haadii ilaa sawaa-issabiil.
yang pasti kita memilih hal2 yg baik donk....
BalasHapus